SENJATA PAMUNGKASNYA MENEROBOS ANUKU

Bagi yang belum pernah membaca akan saya perkenalkan lagi diri saya, 
nama saya Reni (samaran), saat ini usia 28 tahun. 
Kata orang saya memiliki segalanya baik itu kekayaan, 
kecantikan dan keindahan tubuh yang menjadi idaman setiap wanita.

Dengan tinggi 165 cm dan berat 51 kg menjadikanku 
memiliki pesona bagi lelaki mana saja.
 Apalagi wajahku boleh dibilang cantik dengan kulit kuning langsat dan rambut sebahu. 
Aku telah menikah setahun lebih.

Latar belakang keluargaku adalah dari keluarga Minang yang terpandang.
 Sedangkan suamiku, sebut saja Ikhsan adalah seorang staf 
pengajar pada sebuah perguruan tinggi swasta di kota Padang.

Setelah suamiku menyelesaikan studinya di luar negeri,
 aku mengusulkan untuk mengajukan pindah ke kota Padang agar 
dapat berkumpul lagi dengan keluarga. Setelah melalui birokrasi 
yang cukup memusingkan ditambah sogok sana sogok sini akhirnya 
aku bisa pindah di kantor pusat di Kota Padang.

Pembaca tentu maklum bahwa pada jaman sekarang segala sesuatu 
harus pakai uang. Malahan kata orang Jakarta segala sesuatu 
harus bayar, dari makan hingga buang kotoran. Mungkin hanya 
kentut saja yang belum perlu pakai uang. (Mungkin kalau sudah
 ada Undang Undang Lingkungan, kentut pun musti bayar karena 
mencemari udara.. Ya nggakk??)

Sebagai orang baru, aku tentu saja harus bekerja keras untuk 
menunjukkan kemampuanku. Apalagi tugas baruku di kantor pusat 
ini adalah sebagai kepala bagian. Aku harus mampu menunjukkan 
kepada anak buahku bahwa aku memang layak menempati posisi ini.

Sebagai konsekwensinya aku harus rela bekerja hingga larut malam
 menyelesaikan tugas-tugas yang sangat berbeda saat aku bertugas 
di kepulauan dahulu. Hal ini membuatku harus selalu pulang larut 
malam karena jarak rumah kami dengan kantor 
yang cukup jauh yang harus kutempuh selama kurang lebih 30 menit 
dengan mobilku. Sehingga aku jarang sekali bercengkerama dengan 
suamiku yang juga mulai semakin sibuk sejak karirnya meningkat. 
Praktis kami hanya bertemu saat menjelang tidur dan saat sarapan pagi.

Atas kebijakan pimpinan, aku selalu dikawal satpam jika hendak pulang. 
Sebut saja namanya Pak Fredy, satpam yang kerap mengawalku dengan
 sepeda motor bututnya yang mengiringi mobilku dari belakang hingga 
ke depan halaman rumahku untuk memastikan aku aman sampai ke rumah.
 Dengan demikian aku selalu merasa aman untuk bekerja hingga selarut 
apapun karena pulangnya selalu diantar.

Tak jarang aku memintanya mampir untuk sekedar memberinya secangkir
 kopi hingga suamiku pun mengenalnya dengan baik. Bahkan suamiku pun
 kerap kali memberinya beberapa bungkus rokok Gudang Garam kesukaannya.

Pak Fredy adalah lelaki berusia 35 tahunan. Tubuhnya cukup kekar 
dengan kulit kehitaman khas orang Jawa. Ia memang asli Jawa dan 
katanya pernah menjadi preman di Pasar Senen Jakarta. Ia sudah
 menjadi satpam di bank tempat saya bekerja selama 8 tahun. Ia 
sudah beristri yang sama-sama berasal dari Jawa. Akupun sudah 
kenal dengan istrinya, Yu Sarni.

Suatu hari, saat aku selesai lembur. Aku kaget saat yang
 mengantarku bukan Pak Fredy, tetapi orang lain yang belum cukup kukenal.

“Lho Pak Fredy di mana Bang?” tanyaku pada satpam yang
 mengantarku.

“Anu Bu, Pak Fredy hari ini minta ijin tidak masuk katanya
 istrinya melahirkan” katanya dengan sopan.

Akhirnya aku tahu kalau yang mengantarku adalah Pak Sardjo
, satpam yang biasanya masuk pagi.


“Kapan istrinya melahirkan?” tanyaku lagi.

“Katanya sih hari ini atau mungkin besok Bu” jawabnya.

Akhirnya hari itu aku pulang dengan diiringi Pak Sardjo.

Awal Perselingkuhan

Sudah dua hari aku selalu dikawal Pak Sardjo karena 
Pak Fredy tidak masuk kerja. Hari Minggu aku bersama 
suamiku memutuskan untuk menjenguk istri Pak Fredy di 
Rumah Sakit Umum. Akhirnya aku mengetahui kalau Yu Sarni
 mengalami pendarahan yang cukup parah atau bleeding.

Dengan kondisinya itu ia terpaksa menginap di Rumah Sakit
 untuk waktu yang agak lumayan setelah post partum. Atas 
saran suamiku aku ikut membantu biaya perawatan istri Pak
 Fredy, dengan pertimbangan selama ini Pak Fredy telah 
setia mengawalku setiap pulang kerja.

Sejak saat itu hubungan keluargaku dengan keluarga Pak 
Fredy seperti layaknya saudara saja. Kadangkala Yu 
Sarni mengirimkan pisang hasil panen di kebunnya ke rumahku.
 Walaupun harganya tidak seberapa, tetapi aku merasa ada
 nilai lebih dari sekedar harga pisang itu.

Ya, rasa persaudaraan! Itulah yang lebih berharga dibanding
 materi sebanyak apapun. Sering pula aku mengirimi biscuit 
dan syrop ke rumahnya yang sangat sederhana dan terpencil 
karena memang rumahnya di tengah kebun yang penuh ditanami 
pisang dan kelapa. Karena seringnya aku berkunjung ke
rumahnya maka tetangga yang letaknya agak berjauhan sudah
 menganggapku sebagai bagian dari keluarga Pak Fredy.

Suatu hari, saat aku pulang lembur, seperti biasa aku diantar
 Pak Fredy. Begitu sampai ke depan rumah tiba-tiba hujan mengguyur 
dengan derasnya hingga kusuruh Pak Fredy untuk menunggu hujan reda.
 Aku suruh pembantuku, Mbok Rasmi yang sudah tua untuk membuatkan 
kopi baginya. Sementara Pak Fredy menikmati kopinya aku pun masuk 
e kamar mandi untuk mandi. Ini memang merupakan kebiasaanku untuk mandi sebelum tidur.

Hujan tidak kunjung reda hingga aku selesai mandi, kulihat Pak 
Fredy masih duduk menikmati kopinya dan rokok kesukaannya di
 teras sambil menerawang memandangi hujan.

Hanya dengan mengenakan baju tidur aku ikut duduk di teras untuk
 sekedar menemaninya ngobrol. Kebetulan lampu terasku memang
 lampunya agak remang-remang yang sengaja kuatur demikian dengan
 suamiku agar enak menikmati suasana.

“Gimana sekarang punya anak Pak? Bahagia kan?” tanyaku membuka percakapan.

“Yach.. Bahagia sekali Bu..! Habis dulu istri saya pernah keguguran saat
 kehamilan pertama, jadi ini benar-benar anugrah yang tak terhingga buat saya Bu..”

“Memang Pak.. Aku sendiri sebenarnya sudah ingin punya anak, tetapi..”

Aku tidak dapat meneruskan kata-kataku karena jengah juga membicarakan 
kehidupan seksualku di depan orang lain.

“Tetapi kenapa Bu.. Ibu kan sudah punya segalanya.. Mobil ada.. Rumah
 juga sudah ada.. Apa lagi” Timpalnya seolah-olah ikut prihatin.

“Yach.. Itu lah Pak.. Dari materi memang kami tidak kekurangan, tetapi 
dalam hal yang lain mungkin kehidupan Yu Sarni lebih bahagia”

“Mm maksud ibu..” tanyanya terheran-heran.

“Itu lho Pak.. Pak Fredy kan tahu kalau saya selalu kerja sampai malam
 sedangkan Bang Ikhsan juga sering tugas ke luar kota jadi kami jarang
 bisa berkumpul setiap hari. Sekarang aja Bang Ikhsan sedang tugas ke 
Jakarta sudah seminggu dan rencananya baru empat hari lagi baru kembali ke Padang”

“Yachh.. Memang itulah rahasia kehidupan Bu.. Kami yang orang kecil 
seperti ini selalu kesusahan mikir apa yang hendak dimakan besok pagi.. 
Sedangkan keluarga ibu yang tidak kekurangan materi malah bingung tidak dapat kumpul”

Matanya sempat melirikku yang saat itu mengenakan pakaian baby doll. 
Kulihat jakunnya naik turun melihat kemolekan tubuhku. Mungkin karena
 hujan yang semakin deras dan aku yang jarang dijamah suamiku membuat gairah nakalku bangkit.

Aku sengaja mengubah posisi dudukku sehingga pahaku yang mulus sedikit
 kelihatan. Hal ini membuat duduknya semakin gelisah, matanya 
berkali-kali mencuri pandang ke arah pahaku yang memang sengaja kubuka sedikit.

“Sebentar Pak saya ambil minuman dulu” kataku sambil bangkit dan berjalan masuk.

Aku sadar bahwa pakaian yang kukenakan saat itu agak tipis sehingga 
bila aku berjalan ke tempat terang tubuhku akan membayang di balik gaun tipisku.

“Oh ya Pak Fredy masuk saja ke dalam soalnya hujan kan di luar dingin..”

“I.. Iya Bu..” jawab Pak Fredy agak tergagap karena lamunannya terputus
 oleh undanganku tadi. Jakunnya semakin naik turun dengan cepat. 
Aku tahu ia tentu sudah lama tidak menyentuh istrinya sejak melahirkan bulan kemarin,
 karena usia kelahiran bayinya belum genap 40 hari.

Suasana sepi di rumahku ditambah dengan dinginnya malam membuat 
gairahku bergejolak menuntut penuntasan. Apa boleh buat aku
 harus mampu menundukannya. Pak Fredy sangat terangsang melihat 
penampilanku yang sangat segar habis mandi tadi. Akhirnya mungkin karena tidak tahan atau karena udara dingin ia 
minta ijin untuk ke kamar kecil.

“Eh.. Anu Bu.. Boleh minta ijin ke kamar kecil Bu”

“Silahkan Pak.. Pakai yang di dalam saja”

“Ah.. Enggak Bu saya enggak berani”

“Enggak apa-apa.. Itu Pak Fredy masuk aja nanti dekat ruang tengah itu”

“Baik Bu..”

Sambil berdiri ia membetulkan celana seragam dinasnya yang ketat. 
Aku melihat ada tonjolan besar yang mengganjal di sela-sela pahanya.
 Aku membayangkan mungkin isinya sebesar tongkat pentungan yang 
selalu dibawa-bawanya saat berjaga.. Atau bahkan mungkin lebih besar lagi.

Agak ragu-ragu ia melangkah masuk hingga aku berjalan di 
depannya sebagai pemandu jalan. Akhirnya kutunjukkan kamar 
kecil yang bisa dipakainya. Begitu ia masuk aku pun pergi
 ke dapur untuk mencari makanan kecil, sementara di luar 
hujan semakin lebat diiringi petir yang menyambar-nyambar.

Aku terkejut saat aku keluar dari dapur tiba-tiba ada tangan kekar
 yang memelukku dari belakang. Toples kue hampir saja terlepas dari 
tanganku karena kaget. Rupanya aku salah menduga. Pak Fredy yang 
kukira tidak mempunyai keberanian ternyata tanpa kumulai sudah 
mendahului dengan cara mendekapku. Napasnya yang 
keras menyapu-nyapu kudukku hingga membuatku merinding.

“Ma.. Maaf Bu, sa.. Saya sudah tidak tahan..” desisnya 
diiringi dengus napasnya yang menderu.

Lidahnya menjilat-jilat tengkukku hingga aku menggeliat 
sementara tangannya yang kukuh secara menyilang mendekap 
kedua dadaku. Untuk menjaga wibawaku aku pura-pura marah.

“Pak Fredy.. Apa-apaan ini..” suaraku agak kukeraskan 
sementara tanganku mencoba menahan laju tangan Pak Fredy yang
semakin liar meremas payudaraku dari luar gaunku.

“Ma.. Af Bu sa.. Saya.. Sudah tidak tahan lagi..”
 diulanginya ucapanya yang tadi tetapi tangannya semakin liar 
bergerak meremas dan kedua ujung ibu jarinya memutar-mutar kedua
 puting payudaraku dari luar gaun tipisku.

Perlawananku semakin melemah karena terkalahkan oleh desakan nafsuku 
yang menuntut pemenuhan. Apalagi tonjolan di balik celana Pak Fredy 
yang keras menekan kuat di belahan kedua belah buah pantatku. 
Hal ini semakin membuat nafsuku terbangkit ditambah dinginnya 
malam dan derasnya hujan di luar sana. Suasana sangat mendukung 
bagi setan untuk menggoda dan menggelitik nafsuku. Itulah Kisah
 Mesum Senjata Pamungkasnya Menerobos Anuku, 
Baca juga cerita sex paling yahud: Cerita 
Sex Bersetubuh Bareng Mamahku Cantik –
Cerita sex terlengkap, cerita dewasa terhot,
 cerita mesum terbagus, cerita ngentot ternikmat,
 cerita sex terpopuler 2016, cerita ngentot terbaru.

Post a Comment

close
Banner iklan disini
webcounter